Penguatan Prasarana Olahraga di Desa, Strategi Memasyarakatkan Olahraga – Salah satu tantangan terbesar bagi masyarakat dalam berolahraga adalah minimnya fasilitas yang tersedia. Baik di perkotaan maupun pedesaan, masalah ini tampak serupa. Di kota-kota besar masyarakat seringkali terjebak dalam keterbatasan lahan untuk berolahraga.
Menariknya, beberapa orang bahkan berinovasi dengan memanfaatkan atap gedung pasar sebagai lapangan sepak bola. Ini menunjukkan semangat juang mereka untuk tetap aktif, meskipun harus menghadapi keterbatasan ruang.
Perbedaan Masalah Dalam Strategi Prasarana Olahraga Desa Dan Perkotaan
Berbeda dengan masyarakat di perkotaan, masyarakat pedesaan umumnya tidak menghadapi masalah lahan untuk berolahraga. Namun, tantangan yang mereka hadapi adalah keterbatasan fasilitas yang tersedia.
Lahan berolahraga yang ada sering kali tidak memadai dan jauh dari standar prasarana yang seharusnya. Meskipun lingkungan mendukung untuk bergerak, mereka masih membutuhkan fasilitas yang lebih baik agar bisa berolahraga dengan nyaman dan aman.
Pada tahun 2016, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu meluncurkan program ambisius bernama “Pembangunan 1.000 Lapangan Desa.” Meskipun inisiatif ini telah dimulai sejak 2015, pengumuman resminya dilakukan di Desa Saluyu, Kabupaten Bogor.
Program ini bertujuan untuk menyediakan sebanyak mungkin fasilitas olahraga berstandar nasional, dengan harapan dapat mendorong lebih banyak masyarakat Indonesia untuk aktif berolahraga. Inisiatif ini tidak hanya berfokus pada pembangunan, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan budaya olahraga yang lebih kuat di seluruh negeri.
Intinya, semakin banyak masyarakat yang berolahraga, semakin besar pula peluang untuk menemukan bibit-bibit olahragawan berbakat yang dapat mengharumkan nama bangsa. Dengan peningkatan partisipasi dalam olahraga, kita tidak hanya membangun kesehatan, tetapi juga menciptakan generasi atlet yang siap berprestasi di kancah internasional.
Program ini memang pantas disebut prestisius, karena anggaran yang dialokasikan bukanlah angka sembarangan, melainkan mencapai puluhan miliar rupiah setiap tahunnya. Ia juga tergolong ambisius, mengingat target yang ditetapkan: 1.000 lapangan desa dalam setahun.
Diawali dengan hanya lapangan sepak bola pada tahun 2015, program ini telah mengalami metamorfosis yang mengesankan, kini mencakup lima jenis fasilitas olahraga yang berbeda: lapangan sepak bola, futsal, voli, basket, dan prasarana panjat dinding. Transformasi ini menunjukkan komitmen untuk meningkatkan akses dan kualitas olahraga di tingkat desa.
Kelima jenis prasarana olahraga ini diyakini mewakili cabang-cabang yang sangat diminati oleh masyarakat di berbagai penjuru Indonesia. Dengan meningkatnya antusiasme terhadap olahraga ini, diharapkan fasilitas yang disediakan dapat mendukung pertumbuhan bakat dan semangat berolahraga di seluruh daerah.
Salah Satu Penyebab Kurangnya Sumber Daya Manusia Yang Tersedia
Namun, dalam perjalanannya, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) hanya mampu membangun sekitar 300-400 lapangan setiap tahunnya. Salah satu kendala utama adalah kurangnya sumber daya manusia yang tersedia. Setiap tahun, ribuan proposal dari berbagai desa mengalir deras ke Asisten Deputi Standardisasi dan Infrastruktur Olahraga.
Unit yang bertanggung jawab atas program ini, menunggu untuk diverifikasi dan divalidasi. Tantangan ini menjadi pengingat betapa pentingnya dukungan yang kuat untuk mewujudkan impian olahraga di seluruh tanah air.
Proses verifikasi tak hanya terbatas pada kelengkapan administratif dan kesesuaian proposal; verifikasi faktual di lapangan juga sangat krusial. Salah satu solusi yang diambil adalah memanfaatkan mitra kerja Dinas Pemuda dan Olahraga di setiap provinsi sebagai perpanjangan tangan untuk melakukan verifikasi langsung ke desa-desa.
Tak kalah penting, tim dari Kemenpora pun aktif melakukan uji petik di berbagai daerah. Saya merasa beruntung bisa bergabung dengan tim verifikasi lapangan ini, sebuah pengalaman yang membuka mata dan memberikan wawasan mendalam tentang realitas di lapangan.
Selama menjadi bagian dari tim verifikasi faktual pembangunan lapangan desa Kemenpora, saya mengalami berbagai pengalaman, kenangan, tantangan, dan hambatan yang tak terlupakan. Di lapangan, ternyata tidak semua desa memiliki pemahaman yang sama tentang standar-standar fasilitas olahraga.
Untuk mengatasi hal ini, beberapa desa memilih memberdayakan pemuda sebagai pendamping untuk menyusun proposal pengajuan bantuan pembangunan lapangan. Sementara itu, desa lainnya mengandalkan bantuan konsultan perencanaan yang berpengalaman. Setiap pendekatan mencerminkan kreativitas dan upaya masyarakat untuk meningkatkan infrastruktur olahraga di wilayah mereka.
Selain tantangan pemahaman, saya juga menghadapi berbagai kendala non-teknis. Beberapa lokasi pembangunan lapangan ternyata berada di tempat yang cukup ekstrem: ada yang terletak jauh di puncak gunung, di tengah area persawahan, bahkan di dalam hutan, atau di lereng yang terlalu curam untuk dijadikan lapangan olahraga.